Taman nasional yang berada di Provinsi Banten ini diberi nama Ujung Kulon lantaran letaknya di ujung Pulau Jawa bagian barat. Taman nasional ini mulai dikembangkan sebagai daerah cagar alam sejak tahun 1820-an, atau setelah munculnya gagasan dari para sarjana kolonial Hindia-Belanda yang berkunjung ke Pulau Jawa untuk menciptakan daerah konservasi alam di Ujung Kulon. Sarjana-sarjana kolonial yang sebagian besar adalah anggota Organization for Scientific Research in Netherlands Indies ini di antaranya adalah ahli botani, binatang, geografi, oceanografi, dan geologi. Oleh karenanya, penemuan daerah ini adalah lahan emas bagi pengembangan sains mereka.
Setelah berlabuh di semenanjung Pulau Jawa bagian barat, mereka melihat keelokan alam—dengan berbagai jenis tanaman tropis dan binatang—khas Pulau Jawa yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya. Mereka melakukan ekspedisi dan eksplorasi alam di Ujung Kulon dengan mendokumentasikan [melakukan pencatatan-pencatatan] dan mengoleksi segala sesuatu yang dianggap asing dan penting dalam khazanah keilmuan mereka. Akhirnya, mereka menggagas untuk menetapkan daerah—yang mencakup Gunung Krakatau, Pulau Panaitan, Pulau Handeuleum, dan Pulau Peucang—ini sebagai salah satu domain riset dan pengembangan ilmu alam di Asia-Pasifik.
Kendati motivasi utama mereka adalah untuk pengembangan sains, pemerintah kolonial menganggap aktivitas mereka merusak ekosistem daerah Ujung Kulon. Sebagaimana tertulis dalam catatan sejarah kolonial, selain melakukan riset, para sarjana tersebut juga melakukan perburuan-perburuan terhadap berbagai binatang sebagai upaya memperbanyak koleksi museum-museum sains di negara asal mereka dan ini berlangsung hingga puluhan tahun lamanya [1853—1910]. Memasuki tahun 1910, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan kebijakan untuk melindungi daerah Ujung Kulon yang makin hari semakin rusak. Kendati demikian, aktivitas pengrusakan ekosistem di Ujung Kulon itu tetap berlangsung hingga sebelum Perang Eropa II pecah di tahun 1939.
Setelah terbentuknya negara Republik Indonesia [RI] di tahun 1945, daerah Ujung Kulon yang tadinya terbengkalai mulai diperhatikan lagi. Pada tahun 1958 pemerintah RI menetapkan daerah ini sebagai daerah cagar alam, kendati belum digarap dengan serius. Departemen Kehutanan mengupayakannya dengan mengusulkan ke UNESCO agar area taman nasional ini dijadikan sebagai world heritage site pada kategori hutan bercurah hujan tinggi di dataran rendah terluas di Jawa. Akhirnya, pada tahun 1992 Taman Nasional Ujung Kulon diresmikan sebagai sebuah situs cagar alam dunia oleh UNESCO. Kini, taman nasional ini berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
apabila ditilik secara historis, Ujung Kulon adalah taman nasional tertua di Indonesia. Taman ini adalah cikal-bakal beberapa taman nasional di Indonesia, seperti Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara atau daerah Taman Nasional Gunung Leuser di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Selain nilai historisnya, daerah ini memiliki zona inti seluas kira-kira 120.551 ha yang terbagi menjadi 76.214 ha berupa daratan dan 44.337 ha berupa lautan dan daerah berbatu karang. Zona inti yang berfungsi sebagai cagar alam dan suaka margabinatang ini memiliki berbagai macam keistimewaan, di antaranya keanekaragaman jenis biota laut, darat, dan binatang langka.
binatang langka yang dimaksud di atas salah satunya adalah badak Jawa bercula satu [rhinoceros sondaicus] atau yang biasa disebut bacusa. Hewan langka ini adalah salah satu ciri khas Taman Nasional Ujung Kulon dengan tingkat populasi sekitar 50—60 ekor. Habitat lain dengan populasi lebih rendah [kurang dari 10 ekor] berada di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam.
Populasi binatang yang termasuk kategori hewan purba tersebut kini terancam punah karena tindakan para kolektor cula [tanduk] badak, namun wisatawan masih dapat menyaksikan wujud dan kehidupan mereka di sini. Di daerah ini, terdapat beberapa binatang liar dan langka lainnya, seperti rusa, mancak, banteng Jawa (bos javanicus), primata [monyet dan simpanse], babi hutan, rase lemur, lutung (presbytis cristata), gibon Jawa (hylobates moloch), anjing hutan (coun alpinus), kucing batu (felis bengalensis), harimau (panthera trigis), suruli (presbity aygula), dan 270 jenis burung.
Kekayaan lainnya berupa biota laut, salah satunya yaitu keindahan terumbu karang yang menjadi sumber makanan dan tempat berlindungnya ribuan jenis ikan laut. Karenanya, konservasi terhadap terumbu karang menjadi perhatian besar pengelola taman nasional. Pesan yang ingin disampaikan oleh pengelola pada wisatawan yaitu rusaknya terumbu karang berarti juga ancaman bagi ekosistem ribuan ikan yang ada di zona laut di daerah taman nasional ini.
0 komentar:
Posting Komentar